Angklung, alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari bambu, bukan hanya sekadar instrumen. Di balik alunan merdunya, tersembunyi sejarah panjang dan kaya yang berakar kuat dalam budaya Sunda, Jawa Barat. Jejak keberadaan angklung diperkirakan telah ada sejak abad ke-11 hingga ke-16 Masehi, menjadikannya salah satu warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya.
Catatan sejarah dan berbagai penelitian arkeologis mengindikasikan bahwa angklung awalnya memiliki fungsi ritualistik dan magis. Bunyinya diyakini dapat memanggil dewi padi (Nyi Sri Pohaci) untuk kesuburan tanaman dan kemakmuran hasil panen. Dalam konteks ini, angklung bukan hanya alat musik, tetapi juga bagian integral dari upacara adat dan kepercayaan masyarakat Sunda kuno.
Salah satu jenis angklung tertua yang masih dapat ditemukan jejaknya adalah Angklung Gubrag di Jasinga, Bogor. Angklung ini memiliki desain yang sederhana dan dimainkan dalam upacara seren taun (panen padi). Keberadaannya menjadi bukti kuat akan keterkaitan erat antara angklung dan kehidupan agraris masyarakat Sunda pada masa lampau.
Seiring berjalannya waktu, fungsi angklung mulai bergeser dan berkembang. Selain sebagai instrumen ritual, angklung juga mulai digunakan sebagai alat hiburan dan sarana komunikasi. Bunyi khasnya yang riang dan bersemangat seringkali mengiringi berbagai acara keramaian dan perayaan.
Pada masa kerajaan Sunda, angklung juga memiliki peran dalam peperangan. Suara gemuruh dari ansambel angklung diyakini dapat membangkitkan semangat para prajurit dan mengintimidasi musuh. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya angklung dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda kala itu.
Perkembangan angklung terus berlanjut hingga masa kini. Berbagai inovasi dalam pembuatan dan teknik permainan angklung telah melahirkan beragam jenis angklung modern, seperti Angklung Daeng Soetigna yang memiliki tangga nada diatonis dan memungkinkan memainkan berbagai jenis musik modern UNESCO mengakui angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia pada tahun 2010. Pengakuan ini semakin mengukuhkan posisi angklung sebagai aset budaya dunia yang perlu dilestarikan dan terus dikembangkan. Kini, angklung tidak hanya dimainkan di Indonesia, tetapi juga telah mendunia. Keunikan suara dan cara memainkannya yang membutuhkan kerjasama tim (satu angklung menghasilkan satu nada) menjadikan angklung sebagai simbol harmoni dan kebersamaan.